Menampilkan kesemua 3 kiriman.
  • Assalamu alaiku wr wb

    Shirathal Mustaqim
    Jokam sebgai institusi Thaifah ala al-haq (golongan yg di atas kebenaran) maka cobaan dan rintangan tdk akan pernah bosan menyertainya (tentu; demikian pula dg pertolongan dr Allah), dan setiap era cobaan yg dihadapi oleh para pembawa kebenaran ini akan berbeda2, sebagai contah di era Abah dan pak D alm. Cobaan yg berat berupa gangguan fisik, spt masjid dan rmh2 jm dibakar muballigh dipukuli hingga mati ada yg ditangkap dan disiksa aparat dg tanpa pengadilan dll. Sedangkan di era pak Az, cobaan yg terbukti tdk ringan adalah berupa ghazwatu al-fikri (perang pemikiran/argumentasi dan hujjah2), kalau boleh sy katakan ini lebih serius dibanding cobaan fisik di era2 sblmnya.

    Hal ini dikarenakan musuh yg kita hadapi di era sblmnya adalah mrk dr kalangan ahli TBC (takhayul, Bid’ah dan Churafat) yg jauh dr QH, alias ahlul bid’ah, sedangkan skrg yg kita hadapai adalah golongan yg “ngaku” sbg ahlu as-sunnah (yakni; gerombolan Salafi) dan serangan mrk tlh membuat sbgian mblgh nggomblohi akhirnya terpengaruh shgga mufaraqah atau syadza anil jamaah (bhs populernya murtad) baik di tingkat pusat (contohnya sdr M) maupun bawah pusat (he..he.. maaf, maksud saya di daerah2), dlm ghazwatu alfikr ini serangan mrk yg paling utama adalah caracter assasination terhadp abah alm. Mrk hujat abah dan mrk citrakan sbg dajjal, dukun dll. Kemudian mrk serang kefahaman kita akan konsep berjamaah.

    Mrk rubah fakta dr dalil2 shahih ttg wajibnya berjmh sehingga kesannya seolah2 jm adalah korban dari salah tafsir atas dalil2 jm, bahkan mrk tegaskan yg dimaksud jm adalah seluruh umat Islam (tanpa punya Imam) sdgkan umat Islam yg mengangkat Imam itu berarti firqah alias memisahi jamaahnya umat Islam dll, untuk menghadpi serangan2 spt ini tdk boleh tdk kita harus lebih menigkatkan lagi kualitas faham jm.

    Bahwa ika membentuk jamaah dan mengangkat imam adalah perkara yang tidak wajib maka tentulah para sahabat r.a tidak akan bersusah-payah bermusyawarah mengangkat khalifah hingga mereka menunda pengurusan sekaligus pemakaman jenazah Rasulullah s.a.w.

    Dengan kata lain jika ada manusia yang paling berhak untuk tidak berjamaah dan berbaiat kepada seorang Imam tentulah para sahabat, sebab diantara mereka telah mendapat jaminan masuk surga ada yang karena keikut-sertaannya dalam perang Badar (313 orang), ada yang karena turut serta dalam baiat Ridwan (sekitar 1500 orang), dan ada yang masuk al-Asyrah al-Mubasyirah bil-Jannah (sepuluh orang yang telah diberi kabar gembira pasti masuk surga Mereka adalah; 1. Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah (As-siddiq) 2.Umar bin Khattab (Al-faruq) 3. Utsman bin Affan 4. Ali bin abi Thalib 5. Thalhah bin Ubaidillah 6. Az-Zubair bin Awwam 7. Abdurrahman bin Auf 8. Sa'ad bin abi Waqqash 9. Said bin zaid 10. Abu Ubaidah bin Jarrah) atau umumnya sahabat yang keutamaan mereka jauh di atas kita, sehingga infaq kita berupa emas satu gunung uhud pun pahalanya tidak akan bisa menyamai infaqnya para sahabat Nabi s.a.w walau hanya berupa satu mud kurma.
    Dari Abi Sa’id al-Khudri r.a dia berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda jangan kalian mencaci-maki sahabatku, seandainya salah satu kalian infaq emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak bisa menyamai infaq mereka yang hanya (berupa makanan) satu mud atau setengahnya. HR Al-Bukhari : 3397, Muslim : 4610

    Demikian pula dengan dua generasi yang terunggul dari umat Muhammad s.a.w yaitu para tabi’in dan tabi’it-tabi’in sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah s.a.w
    Dari Imran bin Hushain r.a dari Nabi s.a.w beliau : Bersabda sebaik-baiknya kalian adalah generasiku (sahabat) kemudian yang mendekati mereka (Tabi’in) kemudian yang mendekati mereka (Tabi’it Tabi’in). HR. Al-Bukhari : 5948

    Tapi fakta sejarah telah menunjukkan bahwa tidak ada satupun diantara tiga generasi umat yang terunggul tersebut yang tidak mempunyai imam, tidak ada satupun diantara mereka yang tidak berbai’at kepada Imam, bahkan Ali bin Abi Thalib r.a yang sebenarnya mempunyai “ganjalan” terhadap Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq r.a (ada dua ganjalan yg membuat Ali sempat menunda baiat kepd Abu Bakar; pertama Ali merasa yakin bahwa Nabi telah mewasiatkan Kekhalifahan kepdnya, yg kedua; masalah tanah fai’ milik Nabi dr rampasan perang Khaibar, Ali dan Fatimah meyakini bhw tanah itu milik pribadi Nabi dan menjadi warisan setelah wafatnya, tapi Khalifah Abu bakar meyakini bahwa tanah itu milik Baitul mal, dan Nabi tdk mewariskan harta melainkan ilmu agama) akhirnya mengalah dan turut membai’at kepada sang Khalifah.

    Bagaimana dengan kita yang sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan mereka, dan belum mendapat jaminan surga, yang amal ibadah kita setahi kuku pun tidak bisa menyamai ibadah mereka radhiallahu anhum pantaskah kita merasa selamat dan aman dengan tidak mempunyai Imam, tidak terikat dengan janji baiat, dan tidak berjamaah ?
    Bagaimana dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut manhaj Salafus Shalih (sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in) tapi mengingkari hal prinsip yang diamalkan oleh para Salafus Shalih bahkan menganggap berjamaah dan berbaiat dengan imam itu suatu bid’ah yang diada-adakan dan orang-orang yang melakukannya mereka juluki sebagai ahlul bid’ah wal ahwa’ (penganut bid’ah dan hawa nafsu) subahanallah.

    Bukankah dalam setiap shalat kita selalu berdoa (membaca surah al-Fatihah) ; Ihdinas Shirathal mustaqim, shirathal ladzina an’amta alaihim; Tunjukilah kami jalan yang lurus, [yaitu] jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni‘mat kepada mereka. QS. al-fatihah : 6-7.
    Pada ayat tersebut terkandung doa mohon pada Allah agar kita mendapat petunjuk sebagaimana yang Allah telah karuniakan kepada orang-orang yang telah diberiNya nikmat (orang-orang yang telah sukses dijamin pasti masuk surga) yaitu para sahabat r.a sebagaimana yang telah dibahas di atas, dan tidak ada satupun diantara mereka yang matinya dalam keadaan tidak mempunyai imam, tidak ada satupun diantara mereka yang lehernya tidak terikat dengan baiat.

    Ingatlah, bahwa selain para sahabat sepanjang apapun jenggotnya atau setebal apapun sorban yang melilit kepalanya, tidak ada yang betul-betul telah dijamin masuk surga walapun dengan mengaku-ngaku sebagai pengikut ajaran Salafus Shalih, sungguh aneh jika orang-aorang yang sudah sukses saja masih tawadlu’ dan mengakui akan wajibnya berjamaah berimam dan berbaiat, sedangkan orang yang tidak ada jaminan suksesnya kok malah bersikap sombong dengan mengatakan tidak perlu berjamaah atau berbaiat mengangkat Imam bahkan menuduh bahwa berjamaah adalah perkara bid’ah.

    Sebuah analogi yang sederhana; kalau kita mau sukses dalam bisnis maka contohlah pebisnis yang telah sukses seperti Bill Gate, Donald Trumph dan lain-lainnya, kita bisa meniru kiat-kiat bisnis mereka, bagaimanakah mereka bisa meraih kesuksesan sehingga seperti sekarang ini ?, jangan malah meniru orang yang belum terbukti suksesnya, hanya bermodal pakai dasi ke mana-mana menjinjing tas hitam, orang yang Harmoko (hari-hari omong kosong) menawarkan bisnis khayalan atau skim cepat kaya, yang omongannya melebihi bukit tapi penghasilannya tak sampai satu tumit.

    Itulah perbandingan nyata antara orang-orang yang telah sukses dijamin pasti akan masuk surga (para sahabat Nabi s.a.w) berbanding dengan gerombolan Salafi yang aqidahnya tidak jelas dan kerjanya omong besar saja.
    pada hari Rabu · Laporkan
  • Saking bingungnya salapret ga bisa membedakan mana bid'ah dan mana ijtihad...

    Karena hati mereka tertutup sehingga ga bisa jg membedakan bagaimana lakonnya orang yang berhasil dalam perjuangan dan mana yang gagal kepratal dalam perjuangan...

    Mengikuti perjuangannya orang yang berhasil pun juga dianggap bid'ah, sehingga mereka bingung sendiri dengan manhaj yang dipersulit mereka sendiri...

0 komentar:

Posting Komentar